Di  dunia kerja yang super kompetitif  seperti sekarang ini, masih banyak  pemimpin yang merasa dia mampu mengerjakan  semuanya, dari A sampai Z.  Mereka ingin semua pekerjaan harus melalui dirinya  sebelum boleh  dieksekusi. Mereka merasa kalau ada pekerjaan yang tidak ‘lewat’  dia  dan dieksekusi, pasti hasilnya tidak sempurna, pasti ada yang salah.   Dan,...siap-siap untuk si yang berani mengeksekusi tanpa meminta  pendapat atau 
approval-nya, akan kena teguran;  siap-siap kena marah.     Apa yang saya tuliskan ini terjadi di  banyak perusahaan. Bekerja di  perusahaan yang seperti ini tidak memberikan rasa  kerja yang nyaman.  Biasanya, karyawan akan bertahan kerja di sana hanya karena (1)  dia  suka dengan 
brand yang dia  kerjakan, atau karena  (2) dia  belum  mendapatkan kesempatan lain, dan tidak bisa meninggalkan  pekerjaannya begitu  saja karena harus menghidupi dirinya dan  keluarganya. 
Nah, karena mereka bekerja tidak dengan  sepenuh hati, maka sudah  dapat dipastikan kalau perusahaannya memiliki ‘rapor  merah’ alias tidak  
perform. Kalaupun  perusahaannya mampu membukukan keuntungan,  hasilnya pasti tidak maksimal;  karena bagaimanapun juga, perusahaan  yang dikelola oleh karyawan-karyawan yang  memiliki totalitas terhadap  perusahaan akan selalu lebih baik kinerja dan  hasilnya jika  dibandingkan dengan perusahaan yang ditempati oleh orang-orang  yang  hanya kerja untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Lalu, apa hubungan judul artikel ini “Jangan  Jadi SUPERMAN” dengan apa yang telah saya kemukakan di atas? Jelas, si 
Boss  yang merasa dirinya mampu  mengerjakan semuanya merasa dirinya adalah  Superman. Dia tidak sadar bahwa sesungguhnya,  di dunia kerja yang nyata  ini, tidak ada Superman...karena Superman hanya ada  di komik (dan  film)!
Ingat, 
Boss yang seperti ini bisa memiliki pemikiran dan  berlaku seperti ini pasti ada  sebabnya. Biasanya, karena untuk sekian  lama karyawan-karyawannya tidak mampu  untuk bekerja sesuai dengan  ekspektasinya si 
Boss. Berulang kali dikasih tahu harus begini,  harus begitu, hasilnya  masih saja tidak sesuai dengan apa yang  diinstruksikan oleh si 
Boss. Singkatnya, si 
Boss belum  memiliki kepercayaan yang  cukup untuk melepaskan tanggng jawab kepada  karyawan-karyawannya. Tapi  pertanyaannya, “Mau sampai kapan?”
Di dalam dunia kerja, ini yang seringkali  disebut 
micro-managing. Perlu saya  tekankan bahwa menjadi orang yang 
detail  oriented itu bagus. Di buku 
“Young On  Top”,  saya bilang bahwa adalah pemikiran yang salah apabila seseorang   berpikir, “Semakin tinggi posisi yang dia jabat, semakin tidak perlu  untuk  berorientasi terhadap hal-hal yang detail”. Tapi, kita harus tahu  bahwa orang  yang berorientasi terhadap detail sangat berbeda dengan  orang yang 
micro-managing.
Perbedaannya kira-kira demikian: Orang yang 
detail oriented adalah  orang yang mengetahui ‘seluruh’ detail yang ada,  namun dia tidak  mengerjakan, mengontrol pengeksekusiannya ‘setiap detik’ dari A  sampai Z  seperti yang biasanya dilakukan oleh orang yang 
micro-managing.
Mereka yang merasa ‘Superman di dunia kerja’  cenderung adalah orang yang 
perfectionist.  Dulu orang bangga apabila dirinya 
perfectionist karena dengan kata lain, mereka akan selalu melakukan segala sesuatunya  se-‘
perfect’  mungkin. Padahal,  karakter ini adalah karakter yang negatif, bukan  karakter positif yang bisa  membawa seseorang menjadi sukses. Bagaimana  tidak? Orang yang mau semuanya  sempurna pasti akan stress kerjanya.  Kenapa? Karena tidak ada satupun di dunia  ini yang sempurna. Saya  setuju apabila setiap orang harus bermimpi dan berpikir  besar, tapi  kita juga harus memiliki toleransi untuk pencapaian yang tidak   maksimal. Bukan berarti kalau hasilnya tidak maksimal “It’s OK”, tapi  juga bukan  berarti ketika tidak tercapai 100%, lalu marah-marah,  menegur, 
pointing fingers ke karyawan!
Kalau selama ini kamu adalah ‘Superman di  dunia kerja’, cobalah untuk belajar yang namanya 
empowerment,...
delegation.   Mau sampai kapan kamu  kerja dengan  stress? Biasanya, 24 jam per hari  rasanya tidak cukup untuk para ‘Superman’.  Mau sampai kapan kamu  ‘nyuapin’ timmu setiap hari?    
Daripada jadi Superman, tokoh komik yang  sesungguhnya tidak hebat  kalau adanya di dunia kerja yang nyata ini, lebih baik  jadi seorang 
Coach. Kenapa? Karena kerjaan  seorang 
coach  tidak lain adalah  memberikan pelatihan agar timnya bisa menjadi lebih  baik. Ketika timnya sudah  sedikit lebih baik, dia akan berikan  kepercayaan agar timnya berlatih lebih  banyak lagi dengan ‘melepasnya’.  Biarkan dirinya sebagai seorang 
coach untuk berani memberikan  kesempatan  untuk timnya melakukan kesalahan-kesalahan dari waktu ke  waktu. Dia cukup  memantaunya dari ‘pinggir lapangan’ dengan sekali-kali  memberikan masukan ke  timnya yang ada di dalam lapangan. Dan,...dia  tidak perlu (tidak pernah ada,  dan tidak akan pernah ada) lari ke dalam  lapangan untuk menggolkan ke gawang  lawan! 
Kalau kamu mau memiliki 
“THE WINNING TEAM”, stop jadi  Superman,...gimana caranya? Berikan 
clear  guideline, ajak timmu di dalam proses perencanaan sehingga mereka akan  memiliki 
sense of belonging yang  tinggi, dan biarkan mereka mengimplementasikan rencana-rencana tersebut dengan  caranya sendiri. 
Yes,  biarkan  kreatifitas mereka berkembang! Kamu cukup memantaunya. Berikan  pujian apabila  mereka melakukannya dengan baik, berikan saran apabila  mereka mulai melenceng  dari target yang telah disepakati bersama.   Good luck!
Originaly Writed by Billy Boen
Augie Reyandha Giuliano
Ketua Umum KRIMA - Margahayu Raya, Bandung
Ketua Umum DKM Jundullah - Politeknik Komputer Niaga LPKIA
kaki.lan9it@gmail.com