Selasa, 01 Februari 2011

TPI

Apa kira-kira jawaban atau imajinasi anak-anak kita yang lahir pada periode 90-an jika ditanyakan kepada mereka, apa itu TPI? Pasti jawabannya bukan Televisi Pendidikan Indonesia, melainkan Televisi Paling Indonesia. Lebih jauh lagi jika ditanya program apa yang mereka tonton di TPI? Dengan mudah pasti mereka akan menjawab kontes dangdut Indonesia, film mistik, dan sama sekali tak akan ada kaitannya dengan dunia pendidikan. Tetapi jika pertanyaan ini diberikan kepada kita, pastilah kita tahu persis bahwa kehadiran TPI pada tahun 90-an dimaksudkan oleh mendiang Soeharto sebagai televisi yang bertujuan untuk menyiarkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.
Bagi para penikmat siara TPI di awal mulanya, meski hanya meminjam saluran TVRI dan hanya tayang cuma 2-4 jam perhari, program TPI memang dikemas untuk memberikan penyiaran pendidikan. Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, TPI menyiarkan materi pelajaran pendidikan untuk tingkat menengah. Ada juga mereka membeli hak siar program playschool, word world, underbelly dan world news dari ABC. Tetapi setelah tahun 1991, secara perlahan namun pasti mereka mengurangi misi edukatif, dengan menyiarkan juga acara-acara lain seperti kuis-kuis dan sinetron sebagai selingan.
Kemana kemudian dan siapa yang punya andil mengubah orientasi edukatif TPI menjadi televisi hiburan yang bahkan saat ini program-program mereka bahkan paradoks dengan misi mulia tersebut? Mampukan pemerintah kita memiliki televisi yang benar-benar keluar dari urusan bisnis dan rating, dan fokus pada penyiaran-penyiaran seputar pengelolaan manajemen kelas, guru efektif, manajemen sekolah, dan sebagainya? Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita, selain ketidakmampuan birokrasi dan ketidakberdayaan masyarakat adalah pesatnya arus informasi melalui mass media seperti televisi dan internet yang menawarkan gaya hidup (life style) dan budaya popular.
Keduanya menyediakan peluang sekaligus tantangan bagi masa depan dunia pendidikan kita, baik berupa pengaruh terhadap proses belajar mengajar di kelas maupun pola asuh orangtua di rumah (Gupta, 2000). Dampak dari globalisasi melalui tuntutan gaya hidup dan budaya popular ini juga merambah kehidupan politik, ekonomi, dan kesehatan masyarakat, sehingga terbentuk image di dalam masyarakat kita bahwa Indonesia secara terang-terangan sedang tenggelam dalam proses “egosentrisme barat” yang sangat tak bisa dihindari dan membuat tradisi budaya lokal mengalami erosi dan kegelisahan. (Lemish, Drotner, 1998.)
Seperti diketahui pendidikan merupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat. Dan pendidikan massal melalui media massa seperti TV, internet, dan surat kabar/majalah merupakan bentuk lain dari transplantasi budaya, di mana proses inflitrasi budaya satu ke budaya lainnya berlangsung secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan (Nandy: 2000).
Ketika zaman televisi masih dimonopoli oleh TVRI, mungkin peran pendidik (guru dan orangtua) tak terlalu berat dan melelahkan. Di samping jenis tayangan yang memang masih terbatas, tetapi bentuk tayangan juga masih mempertimbangkan aspek budaya loka masing-masing daerah di Indonesia. Tayangan Si Unyil, drama Losmen, serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari dan menjadi rujukan para guru dan orangtua. Program TPI yang disebutkan di atas pun, pada saat itu, sangat bermanfaat dan beberapa sekolah secara menyengaja membeli televisi hanya untuk melihat siaran-siaran berbasis pendidikan dan kehidupan budaya masyarakat secara langsung.
Sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan dalam masyarakat, bentuk tayangan yang tersaji di depan kita saat ini sangat mengganggu perkembangan kepribadian anak. Selain televisi, patut juga diperhatikan regulasi tayangan dalam bentuk permainan (games) yang merambah hingga ke telepon seluler. Jenis pendidikan massal seperti ini pasti akan meningkatkan “egoisme” siswa secara negatif dan menjurus ke individualisme. Pada akhirnya individualisme anak akan berakibat serius pada keterpecahan keluarga dan struktur sosial, sehingga pada akhirnya akan meruntuhkan akar-akar budaya lokal yang solid dan alami. Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini.

Ditulis oleh Ahmad Baedowi

Augie Reyandha Giuliano
Ketua Umum KRIMA - Margahayu Raya, Bandung
Ketua Umum DKM Jundullah - Politeknik Komputer Niaga LPKIA
kaki.lan9it@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BISMILLAHIRAHMANIRRAHIIM...Mulai Menjalankan program baruuu