Alkisah, sebuah negeri di pinggir pantai areanya kian sempit 
akibat naiknya permukaan air laut. Hal ini di perparah oleh terjangan 
banjir dan badai yang menenggelamkan ribuan rumah. Akhirnya Sang 
Pemimpin memutuskan untuk mengikuti jejak sebuah negeri lain nun jauh di
 benua utara, untuk membangun bendungan. Tentu saja hal ini disambut 
dengan baik, terutama oleh masyarakat yang tergusur oleh air laut, dan 
kini tinggal di tempat yang kurang layak.
Pembangunan pun 
dimulai dengan mengerahkan tenaga ribuan orang. Sebagian merupakan ahli 
bangunan professional, sisanya adalah rakyat yang sukarela membantu 
pembangunan. Rama adalah salah satu diantaranya, ia memutuskan menjadi 
sukarelawan dengan harapan bisa tinggal di tempat yang lebih layak. 
Namun sangat disayangkan, ternyata penduduk negeri itu, termasuk Rama 
sendiri, memiliki sebuah kebiasaan buruk. Korupsi.
Suap, 
Mark Up, sampai korupsi kecil seperti nyontek di sekolah merupakan hal 
yang lumrah bagi mereka. Rama yang melihat antusiasme masyarakat, 
awalnya menyangka pembangunan ini adalah proyek pertama mereka yang 
bebas korupsi. Bendungan ini tidak hanya akan meluaskan kota, tapi 
sekaligus menjadi landmark yang membanggakan. Keberhasilan mereka 
menaklukkan alam yang menggerus tempat tinggal mereka.
Tapi
 ternyata tidak. Baru hari ketiga pembangunan, Rama yang hanya mandor 
sebuah tim kecil, menyadari adanya keganjilan. Perbandingan bahan baku 
tidak sesuai seharusnya. Dan benar saja, sore harinya para pekerja 
termasuk Rama mendapatkan uang tutup mulut. Terbiasa dengan hal ini, 
Rama langsung menerima uangnya dan pulang ke rumah. Tentu saja, uang itu
 diperlukan untuk memberi makan mereka, sukarelawan hanya mendapat 
sedikit honor.
Pembangunan terus dilanjutkan, dengan terus memakai takaran yang berbeda dengan planning para
 teknik sipil di proposal. Bagaimana tidak, sebagian uang yang 
seharusnya dipakai untuk membeli bahan, masuk ke kantung pelaksana 
pembangunan. Tak apalah, meskipun berbeda dengan anjuran teknik sipil, 
tapi masih bisa kok, mendirikan bangunan dengan takaran itu. Hanya satu 
orang yang terus merasakan keganjilan, bulu kuduknya seringkali 
merinding setiap kali melihat bangunan bendungan yang semakin meninggi.
Rama,
 untuk pertama kalinya merasakan bahwa korupsi ini merupakan sebuah 
kesalahan. Ingin sekali rasanya memberitahu teman-temannya, 
mengingatkan, menyadarkan kalau yang selama ini mereka lakukan adalah 
kesalahan. Tapi hatinya ciut, dia sadar, dirinya sendiri adalah pelaku 
korupsi itu. Dirinya telah menikmati uang haram yang pada kali ini, 
akhirnya mendatangkan rasa tidak enak pada dirinya.
Sayang,
 firasat buruk dan rasa bersalah Rama tidak cukup kuat melawan rasa 
takutnya untuk menyampaikan kebenaran itu. Ia takut ia akan dibenci, 
takut disangka tiba-tiba sok suci. Ia takut terusir dari lingkungannya, 
takut mengalami hal yang sama dengan seorang anak yang tidak mau 
memberikan contekan saat ujian. Anak itu dan keluarganya yang 
menyampaikan kebenaran, malah terusir dari desanya. Lagipula, siapa yang
 akan mendengarnya, yang sama-sama pelaku korupsi? Walaupun ia telah 
berhenti menerima uang itu, banyak orang tahu, tidak terhitung dosa yang
 pernah ia lakukan. Tidak mungkin ia mengembalikan semuanya, sudah 
terlanjur basah. Akhirnya, keinginan menghentikan kebiasaan ini hanya 
bisa ia kunci rapat-rapat.
Sesaat sebelum datangnya musim 
badai, para pelaksana akhirnya selesai membangun mahakarya itu. Sebuah 
bendungan raksasa, setinggi puluhan kaki, yang akan menahan badai 
sebesar apapun telah lahir. Lihatlah, tidak ada masalah dengan bendungan
 itu. Dua minggu setelah peresmian, badai besar datang, dan bendungan 
itu berhasil membuat wilayah yang dilindunginya tetap kering. Daerah 
yang dulunya sering terkena banjir, bahkan yang dulunya selalu terendam 
air, kini telah kering.
Seluruh penduduk senang, dengan 
segera mereka kembali mendirikan rumah-rumah mereka yang dulu terendam 
air laut. Para warga yang dulu ditumpangi pengungsi pun senang, bahkan 
tak sedikit yang ikut mendirikan rumah baru pada lahan yang dulunya 
terendam oleh air. Begitupun Rama, sekarang ia dan keluarganya hidup 
bahagia di rumah barunya, lupa akan firasat buruk yang dulu ia rasakan.
Namun
 malam itu datang. Setahun setelah bendungan itu pertama kali berdiri 
dengan gagah. Badai yang besar seperti biasanya datang. Air yang 
biasanya hanya setinggi kaki bendungan, naik sampai hanya berjarak 
beberapa meter dari bagian atas bendungan. Perhitungan para ahli benar, 
air tidak akan melebihi bagian atas bendungan. Namun begitu pula 
perhitungan mereka akan takaran bahan. Bendungan dengan takaran yang 
telah dimodifikasi, tidak mampu menahan tekanan air yang meninggi.
Rama,
 sedang menikmati makan malam disaat ia mendengarnya. Sebuah suara yang 
tidak biasa, suara patahan yang mengerikan, begitu keras menggelegar ke 
seluruh penjuru. Berlari ke jendela, Rama tahu darimana suara itu 
berasal. Bendungan setinggi puluhan kaki yang setahun penuh berdiri 
kokoh, tanpa cacat, kini memiliki retakan besar. Istri dan anak Rama 
menyusul ke jendela. Hitungan detik, retakan itu merekah dengan dentuman
 besar lagi. Kini disertai bergalon-galon air yang menyeruak dengan 
ganasnya. Ratusan rumah di sekitar bendungan itu menyaksikannya, 
terhenyak, panik, terdiam, berbagai reaksi tidak akan merubah apapun. 
Sudah terlambat untuk lari.
Rama hanya terdiam disaat istri dan anaknya berteriak panik.
Inilah pembuktian firasat yang dulu aku rasakan.
Air
 menyeruak semakin dahsyat. Tanah tiba-tiba bergetar. Bendungan raksasa 
itu hancur mulai dari bawahnya. Air menghantam ratusan rumah terdekat 
dengan keecepatan tinggi.
Seandainya aku tidak takut menyampaikannya, mencoba mengingatkan semua orang.
Bendungan
 itu akhirnya runtuh, luluh lantak. Reruntuhan terbawa oleh gelombang 
air yang kini tingginya puluhan kaki. Membuat sapuan gelombang semakin 
kuat dengan berton-ton bongkahan material.
Seandainya aku
 menyampaikan, mungkin ada orang lain yang berpikiran sama. Ada orang 
lain yang bisa membantuku menghentikan kebodohan kami. Ada orang lain 
yang juga ingin mengingatkan kami, namun diam karena merasa sendiri, 
sepertiku. Seandainya aku mengajak mereka, memperbaiki bersama-sama.
Air
 bergerak dengan kecepatan ratusan mil perjam. Menyapu seluruh benda 
dijalannya tanpa belas kasih. Menuju rumah Rama yang juga berada disana.
 Badai kematian kini hanya beberapa meter darinya.
Harusnya aku tahu, terkadang untuk menerapkan kebaikan kepada diri sendiri butuh bantuan dari orang lain. Jika mereka sepaham dan mengerti, mereka akan mengingatkanku. Kalaupun mereka tidak menyukainya, menganggapku munafik, itu jadi cambukkan untukku. 
Dalam gerakan lambat yang mengerikan, gelombang itu menghantam rumah Rama.
Ya, memang seharusnya aku menyampaikannya. Menyampaikan setitik hidayah itu pada orang lain.
Dalam
 gerakan lambat yang menyakitkan, tubuh keluarga kecil itu tertubruk 
kekuatan raksasa tanpa ampun. Hancur, karena kini gelombang itu bukanlah
 gelombang air, partikel padat yang memenuhinya membuat gelombang itu 
seperti tembok berjalan.
Gelombang terus berjalan tanpa 
henti sampai sebagian besar negeri itu hancur, jauh lebih parah 
dibanding banjir yang dulu terjadi. Meninggalkan bukti dan kenangan agar
 rakyat yang tersisa, tidak berhenti saling menyampaikan pemahaman yang 
baik.
***
----------------------------
Naskah asli 10 Juli 2011.
Mengarang bebas, dibikin waktu habis ikut kajian menyangkut kasus kejujuran Ny. Siami yang panas waktu itu. intisarinya:
"Jangan takut akan dikata sok suci atau dikata ria dalam menyampaikan sebuah kebaikan oleh lingkungan, jangan takut akan pujian maupun cacian karenanya. Jika itu adalah hal yang baik, maka sampaikanlah."
Butuh materi yang bentuknya narasi, makanya jadinya kayak gini.
Tapi akhirnya ga dipake juga sih, terlalu horror.
----------------------------
Semoga memberikan manfaat, terutama bagi saya sendiri. 
Jika
 apa yang akan saya kemukakan ini benar, berarti kebenaran itu 
semata-mata dari Allah dan hanya milik-Nya segala puji. Jika tidak 
demikian, maka hanya kebaikanlah yang sebenarnya saya inginkan. Kuasa 
Allah-lah dalam segala urusan, sebelum dan sesudahnya.
Augie Reyandha Giuliano 
Bandung, 9 September 2012
