Ok!
Setelah pembahasan mengenai Ipod yang kecuci oleh Dayat dan Logo KRIMA oleh Firman, sekarang saatnya Review Film yang dipersembahkan oleh Ketua KRIMA!!
Untuk Review film pertama, saya memasukkan film baru yang berjudul "Sang Pencerah".
Yosh, selamat menikmati!!
SANG PENCERAH
Berbeda dengan banyak rumah produksi di  Hollywood, yang sepertinya selalu dapat mengandalkan karya yang berisi  kisah biopik untuk dapat meraup banyak penghargaan dari berbagai ajang  festival, sineas Indonesia sepertinya masih merasa bahwa biopik adalah  sebuah genre film yang selain susah untuk direalisasikan, juga  salah satu genre yang sulit untuk dipasarkan. Tercatat semenjak era  kebangkitan kembali film Indonesia di awal tahun 2000, hanya ada dua  film yang berasal dari genre ini, Marsinah (Cry Justice) (2001)  karya aktor sekaligus sutradara Slamet Rahardjo serta Gie  (2005) yang disutradarai oleh Riri Riza.
Setelah merilis Menebus Impian di awal tahun, yang banyak  diperbincangkan karena mengangkat tema Multi Level Marketing, sutradara  pemenang dua Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik, Hanung  Bramantyo, kini merilis Sang Pencerah, sebuah film biopik  mengenai pendiri organisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, yang semenjak  lama memang telah menjadi proyek impian bagi Hanung. Untuk Sang  Pencerah sendiri, selain berperan sebagai sutradara, Hanung juga  menulis keseluruhan naskah cerita yang ia tuangkan melalui film yang  berdurasi hampir sepanjang 120 menit ini.
Sang Pencerah sendiri memulai  perjalanan kisahnya dengan menilik kelahiran seorang bayi laki-laki  bernama Muhammad Darwis di dalam sebuah keluarga Jawa yang memiliki  latar belakang lingkungan beragama Islam yang sangat kuat. Dalam  pertumbuhannya, Darwis remaja (Ihsan Tarore) sering merasa aneh dengan  kebiasaan lingkungannya yang seringkali mencampuradukkan kegiatan agama  dengan berbagai kegiatan yang berbau mistis. Hal inilah yang kemudian  menarik perhatian Darwis untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Di  usianya yang ke-15, Darwis, dengan seizin orangtuanya, pergi ke Mekkah  untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus mempelajari Islam langsung di  tempat kelahiran agama tersebut.
Lima tahun berselang, Darwis dewasa  (Lukman Sardi) kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sesuai  dengan kebiasaan mereka yang baru kembali dari Mekkah saat itu, Darwis  merubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Kondisi lingkungannya sendiri,  yang saat itu berada di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda, masih  sama dengan ketika ia meninggalkan Yogyakarta. Banyak ajaran Islam yang  dalam pelaksanaannya semakin melenceng dari apa yang telah disuratkan  dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Tak tinggal diam, Ahmad Dahlan mulai  secara perlahan menyadarkan masyarakat sekitar mengenai kesalahan yang  telah mereka lakukan.
Tentu saja, merubah sesuatu hal yang  telah menjadi semacam adat di dalam sebuah kelompok bukanlah hal yang  mudah untuk dilakukan. Ahmad Dahlan sendiri sempat mendapatkan kecaman  dari seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet  Rahardjo), bahkan sering dituding sebagai seorang kyai yang sesat.  Namun atas dukungan penuh istrinya, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca),  keluarga, dan beberapa orang murid setianya, Ahmad Dahlan terus berusaha  menegakkan akidah, termasuk dengan bekerjasama dengan organisasi modern  yang banyak dinilai merupakan kelompok kafir oleh lingkungannya.
Sang Pencerah, yang  direncanakan sebagai sebuah kisah awal dari dwilogi mengenai kehidupan  Ahmad Dahlan, benar-benar menjadi pembuktian Hanung terhadap segelintir  orang yang masih menyangsikan kemampuan sebagai seorang sutradara. Tidak  hanya sebagai pembuktian, di dalam 120 menit masa durasi tayangnya,  sangat terasa bahwa film ini benar-benar diperlakukan secara istimewa  dengan tingkat ketelitian dan kerapian produksi yang sangat tinggi.  Hasilnya, sangatlah mudah untuk menyatakan bahwa Sang Pencerah  merupakan karya sineas Indonesia terbaik yang pernah dirilis di layar  lebar sepanjang tahun ini.
Lihat bagaimana Hanung menceritakan  kisah kehidupan Ahmad Dahlan. Ia menyajikannya dengan cara yang ringan,  walaupun berisi banyak pesan-pesan yang sebenarnya jika diamati lebih  dekat, berisi banyak tema yang akan dianggap berat oleh para  penontonnya. Cara ini terbukti efektif ketika Sang Pencerah  hadir lancar mengalirkan kisahnya ke hadapan para penonton dan membuat  mereka seperti sedang mendengarkan dengan seksama sebuah cerita yang  diceritakan secara apik. Tidak hanya melulu soal biopik kehidupan Ahmad  Dahlan, Sang Pencerah juga berhasil memadukan kisah drama romantis  sekaligus komedi di dalam penceritaannya yang membuat jalan cerita film  ini semakin mudah untuk diresapi.
Pemilihan jajaran pemeran yang tepat  juga menjadi keunggulan yang sangat strategis untuk film ini. Melihat  apa yang ditampilkan Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan mungkin membuat  banyak orang kesulitan untuk membayangkan tokoh besar ini diperankan  oleh aktor muda lainnya. Sebagai Dahlan, Lukman bermain sangat alami.  Kharismanya sebagai seorang aktor muda berbakat terlihat menyatu erat  dengan karakter yang ia mainkan. Tidak mengherankan bila nama Lukman  Sardi akan banyak disebut-sebut dalam berbagai ajang penghargaan film  Indonesia dalam beberapa waktu mendatang.
Selain Lukman, jajaran pemeran lainnya  tidak kalah dalam memberikan kontribusi mereka dalam menghidupkan nyawa Sang  Pencerah. Sekali lagi, setelah Perempuan Berkalung Sorban,  Hanung berhasil mendapatkan nama-nama bertalenta kelas tinggi untuk  mengisi filmnya. Lihat bagaimana Hanung berhasil mengarahkan banyak  bintang muda seperti Ihsan Tarore, Joshua Suherman, Giring, Dennis  Adhiswara, Ricky Perdana dan Zaskia Adya Mecca untuk bermain dan menyatu  erat dengan kemampuan akting para seniornya seperti Yati Surachman,  Ikranegara, Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro hingga Sudjiwo Tewo.  Benar-benar barisan pemeran impian yang terbukti sangat dapat  diandalkan!
Kuat dari unsur filmis, Sang  Pencerah juga tidak kedodoran dari sisi teknis. Film ini  benar-benar diperlakukan sangat istimewa dari sisi sinematografi maupun  pencapaian editingnya. Hasilnya, gambar-gambar yang disajikan di  sepanjang film terlihat nyata dan sangat indah. Ini semakin diperkuat  dengan tata musik yang dihasilkan oleh Tya Subiakto. Pada beberapa  titik, tata musik yang diberikan oleh Tia bahkan berhasil mengisi atau  menambah tingakat emosional dari cerita film yang dihadirkan. Juga  merupakan salah satu tata musik terbaik dari film Indonesia yang dirilis  di sepanjang tahun ini.
Terlepas dari pesan-pesan moral yang  ingin disampaikan film ini, mengenai banyaknya pemanfaatan nama agama  untuk kepentingan yang salah serta rasa fanatisme yang kadang membutakan  beberapa kelompok — yang ironisnya terasa sangat sesuai dengan apa yang  terjadi di Indonesia saat ini — Sang Pencerah adalah sebuah  karya yang tidak dapat disanggah merupakan sebuah hasil yang sangat  jarang dilihat dapat dicapai oleh sineas Indonesia. Digarap dengan  sangat rapi dan didukung dengan tingkat teknikal yang sangat memuaskan, Sang  Pencerah adalah film Indonesia kedua di tahun ini setelah Minggu  Pagi di Victoria Park yang membuktikan bahwa sineas Indonesia  masih mampu memberikan sesuatu yang lebih kepada para penontonnya.  Pencapaian yang sangat luar biasa!


Tidak ada komentar:
Posting Komentar