Senin, 13 September 2010

Review: Sang Pencerah

Ok!
Setelah pembahasan mengenai Ipod yang kecuci oleh Dayat dan Logo KRIMA oleh Firman, sekarang saatnya Review Film yang dipersembahkan oleh Ketua KRIMA!!
Untuk Review film pertama, saya memasukkan film baru yang berjudul "Sang Pencerah".
Yosh, selamat menikmati!!

SANG PENCERAH
Berbeda dengan banyak rumah produksi di Hollywood, yang sepertinya selalu dapat mengandalkan karya yang berisi kisah biopik untuk dapat meraup banyak penghargaan dari berbagai ajang festival, sineas Indonesia sepertinya masih merasa bahwa biopik adalah sebuah genre film yang selain susah untuk direalisasikan, juga salah satu genre yang sulit untuk dipasarkan. Tercatat semenjak era kebangkitan kembali film Indonesia di awal tahun 2000, hanya ada dua film yang berasal dari genre ini, Marsinah (Cry Justice) (2001) karya aktor sekaligus sutradara Slamet Rahardjo serta Gie (2005) yang disutradarai oleh Riri Riza.
Setelah merilis Menebus Impian di awal tahun, yang banyak diperbincangkan karena mengangkat tema Multi Level Marketing, sutradara pemenang dua Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik, Hanung Bramantyo, kini merilis Sang Pencerah, sebuah film biopik mengenai pendiri organisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, yang semenjak lama memang telah menjadi proyek impian bagi Hanung. Untuk Sang Pencerah sendiri, selain berperan sebagai sutradara, Hanung juga menulis keseluruhan naskah cerita yang ia tuangkan melalui film yang berdurasi hampir sepanjang 120 menit ini.
Sang Pencerah sendiri memulai perjalanan kisahnya dengan menilik kelahiran seorang bayi laki-laki bernama Muhammad Darwis di dalam sebuah keluarga Jawa yang memiliki latar belakang lingkungan beragama Islam yang sangat kuat. Dalam pertumbuhannya, Darwis remaja (Ihsan Tarore) sering merasa aneh dengan kebiasaan lingkungannya yang seringkali mencampuradukkan kegiatan agama dengan berbagai kegiatan yang berbau mistis. Hal inilah yang kemudian menarik perhatian Darwis untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Di usianya yang ke-15, Darwis, dengan seizin orangtuanya, pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus mempelajari Islam langsung di tempat kelahiran agama tersebut.
Lima tahun berselang, Darwis dewasa (Lukman Sardi) kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sesuai dengan kebiasaan mereka yang baru kembali dari Mekkah saat itu, Darwis merubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Kondisi lingkungannya sendiri, yang saat itu berada di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda, masih sama dengan ketika ia meninggalkan Yogyakarta. Banyak ajaran Islam yang dalam pelaksanaannya semakin melenceng dari apa yang telah disuratkan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Tak tinggal diam, Ahmad Dahlan mulai secara perlahan menyadarkan masyarakat sekitar mengenai kesalahan yang telah mereka lakukan.
Tentu saja, merubah sesuatu hal yang telah menjadi semacam adat di dalam sebuah kelompok bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Ahmad Dahlan sendiri sempat mendapatkan kecaman dari seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), bahkan sering dituding sebagai seorang kyai yang sesat. Namun atas dukungan penuh istrinya, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca), keluarga, dan beberapa orang murid setianya, Ahmad Dahlan terus berusaha menegakkan akidah, termasuk dengan bekerjasama dengan organisasi modern yang banyak dinilai merupakan kelompok kafir oleh lingkungannya.
Sang Pencerah, yang direncanakan sebagai sebuah kisah awal dari dwilogi mengenai kehidupan Ahmad Dahlan, benar-benar menjadi pembuktian Hanung terhadap segelintir orang yang masih menyangsikan kemampuan sebagai seorang sutradara. Tidak hanya sebagai pembuktian, di dalam 120 menit masa durasi tayangnya, sangat terasa bahwa film ini benar-benar diperlakukan secara istimewa dengan tingkat ketelitian dan kerapian produksi yang sangat tinggi. Hasilnya, sangatlah mudah untuk menyatakan bahwa Sang Pencerah merupakan karya sineas Indonesia terbaik yang pernah dirilis di layar lebar sepanjang tahun ini.
Lihat bagaimana Hanung menceritakan kisah kehidupan Ahmad Dahlan. Ia menyajikannya dengan cara yang ringan, walaupun berisi banyak pesan-pesan yang sebenarnya jika diamati lebih dekat, berisi banyak tema yang akan dianggap berat oleh para penontonnya. Cara ini terbukti efektif ketika Sang Pencerah hadir lancar mengalirkan kisahnya ke hadapan para penonton dan membuat mereka seperti sedang mendengarkan dengan seksama sebuah cerita yang diceritakan secara apik. Tidak hanya melulu soal biopik kehidupan Ahmad Dahlan, Sang Pencerah juga berhasil memadukan kisah drama romantis sekaligus komedi di dalam penceritaannya yang membuat jalan cerita film ini semakin mudah untuk diresapi.
Pemilihan jajaran pemeran yang tepat juga menjadi keunggulan yang sangat strategis untuk film ini. Melihat apa yang ditampilkan Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan mungkin membuat banyak orang kesulitan untuk membayangkan tokoh besar ini diperankan oleh aktor muda lainnya. Sebagai Dahlan, Lukman bermain sangat alami. Kharismanya sebagai seorang aktor muda berbakat terlihat menyatu erat dengan karakter yang ia mainkan. Tidak mengherankan bila nama Lukman Sardi akan banyak disebut-sebut dalam berbagai ajang penghargaan film Indonesia dalam beberapa waktu mendatang.
Selain Lukman, jajaran pemeran lainnya tidak kalah dalam memberikan kontribusi mereka dalam menghidupkan nyawa Sang Pencerah. Sekali lagi, setelah Perempuan Berkalung Sorban, Hanung berhasil mendapatkan nama-nama bertalenta kelas tinggi untuk mengisi filmnya. Lihat bagaimana Hanung berhasil mengarahkan banyak bintang muda seperti Ihsan Tarore, Joshua Suherman, Giring, Dennis Adhiswara, Ricky Perdana dan Zaskia Adya Mecca untuk bermain dan menyatu erat dengan kemampuan akting para seniornya seperti Yati Surachman, Ikranegara, Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro hingga Sudjiwo Tewo. Benar-benar barisan pemeran impian yang terbukti sangat dapat diandalkan!
Kuat dari unsur filmis, Sang Pencerah juga tidak kedodoran dari sisi teknis. Film ini benar-benar diperlakukan sangat istimewa dari sisi sinematografi maupun pencapaian editingnya. Hasilnya, gambar-gambar yang disajikan di sepanjang film terlihat nyata dan sangat indah. Ini semakin diperkuat dengan tata musik yang dihasilkan oleh Tya Subiakto. Pada beberapa titik, tata musik yang diberikan oleh Tia bahkan berhasil mengisi atau menambah tingakat emosional dari cerita film yang dihadirkan. Juga merupakan salah satu tata musik terbaik dari film Indonesia yang dirilis di sepanjang tahun ini.
Terlepas dari pesan-pesan moral yang ingin disampaikan film ini, mengenai banyaknya pemanfaatan nama agama untuk kepentingan yang salah serta rasa fanatisme yang kadang membutakan beberapa kelompok — yang ironisnya terasa sangat sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini — Sang Pencerah adalah sebuah karya yang tidak dapat disanggah merupakan sebuah hasil yang sangat jarang dilihat dapat dicapai oleh sineas Indonesia. Digarap dengan sangat rapi dan didukung dengan tingkat teknikal yang sangat memuaskan, Sang Pencerah adalah film Indonesia kedua di tahun ini setelah Minggu Pagi di Victoria Park yang membuktikan bahwa sineas Indonesia masih mampu memberikan sesuatu yang lebih kepada para penontonnya. Pencapaian yang sangat luar biasa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BISMILLAHIRAHMANIRRAHIIM...Mulai Menjalankan program baruuu