Selasa, 14 September 2010

Review: Darah Garuda / Blood of Eagle / Merah Putih II

Ohayou, Met Pagi, Good Morning!!
Hari ini KRIMA pergi ke BSM XII buat nonton film Darah Garuda Alias Merah Putih II. Setelah terpana dengan action yang cukup memukau dan dialog pemerannya yang sangat resmi seperti baca script, saya memutuskan untuk membuat reviewnya.
Yosh! Selamat Menikmati!!




DARAH GARUDA
Ketika pertama kali dirilis pada Agustus 2009, Merah Putih, yang merupakan bagian pertama dari  Trilogi Merdeka, trilogi fiksi kisah perjuangan rakyat Indonesia dalam usahanya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, mendapatkan sambutan yang beragam dari para penonton Indonesia.
Menyusul Merah Putih, bagian kedua kisah trilogi tersebut, Darah Garuda, kemudian dirilis pada September 2010. Duo Connor Allyn dan Rob Allyn masih bertanggungjawab atas penulisan naskah film ini. Yadi Sugandi juga masih duduk di kursi sutradara, namun kali ini, ia juga turut dibantu oleh Connor Allyn dalam melaksanakan tugasnya. Dan perubahan yang terasa adalah, berhasilnya Darah Garuda memberikan peningkatan dalam eksekusi dan penambahan adegan action yang kali ini benar-benar menjadi nyawa film ini. Meskipun masih terasa kekakuan pada dialog-dialog yang digunakan para karakter-karakternya -yang terlalu resmi-.
Berlatar belakang di Pulau Jawa pada tahun 1947, Darah Garuda masih melanjutkan kisah perjalanan empat tentara yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda, Amir (Lukman Sardi), Marius (Darius Sinathrya), Tomas (Donny Alamsyah) dan Dayan (Teuku Rifku Wikana), yang masih terus melanjutkan perjuangan mereka dalam melawan penjajahan Belanda terhadap tanah Republik Indonesia. Kali ini, perjalanan mereka berhasil mencapai wilayah Jawa Barat, dimana mereka bertemu sekelompok pejuang yang merupakan bagian dari laskar perjuangan Jenderal Sudirman, dan dipimpin oleh Sersan Yanto (Ario Bayu).
Rasa fanatisme yang sedikit berlebihan terhadap suku dan agama sempat membuat Amir dan teman-temannya sedikit sulit membaur dengan rekan-rekan baru pejuang mereka. Namun, setelah beberapa saat, mereka akhirnya mampu menyatu dan langsung menjalankan rencana mereka dalam menyerang salah satu lapangan udara Belanda yang juga menjadi pusat pertahanan kaum penjajah tersebut. Tentu saja, langkah untuk menjalankan rencana yang telah disusun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai rintangan hadir, termasuk adanya kecurigaan masuknya seorang mata-mata diantara laskar pejuang tersebut.
Setelah menyaksikan Darah Garuda secara keseluruhan, sulit rasanya untuk tidak membandingkan film ini dengan The Twilight Saga: Eclipse yang dirilis beberapa waktu yang lalu. Bukan, bukan berarti bahwa Darah Garuda berisi banyak dialog-dialog percintaan yang terdengar konyol bagi para penontonnya — walau harus diakui pada beberapa titik Darah Garuda juga memiliki momen tersebut. Perbandingan tersebut muncul dari cara penyampaian jalan cerita Darah Garuda yang menyerupai The Twilight Saga: Eclipse yang justru menyimpan momen-momen terbaiknya di penghujung film dan membiarkan penontonnya untuk melewati banyak momen-momen yang bertendensi membosankan sebelum mencapai masa keemasan tersebut.
Tentu saja, diantara perjalanan tersebut Yadi Sugandi dan Connor Allyn menyelipkan beberapa momen action, yang dihadirkan dalam skala kecil dan hampir tidak dapat disebut sebagai sebuah hal yang memuaskan. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Merah Putih, film ini berusaha untuk memberikan sebuah kisah yang lebih down to Earth, yang dilakukan dengan banyak memasukkan unsur drama, romansa dan beberapa kali dialog bernuansa komedi ke dalam jalan ceritanya. Berhasilkah? Seharusnya berhasil. Namun ketika hal-hal tersebut dieksekusi dengan dialog super ‘resmi’, yang hadir justru banyak momen-momen ackward yang tercipta di antara jajaran pemerannya. Meskipun pada beberapa momen tetap dapat membuat penonton terhibur, chemistry karakter-karakternya kurang terasa dan lebih tampak sebagai 'sesama tentara' dibandingkan 'teman seperjuangan'.
Namun, seperti yang saya sebutkan diatas, pada bagian-bagian akhir film, Darah Garuda berhasil membawa emosi penonton hanyut dalam ketegangan dan aksi, dan disanalah para karakter benar-benar menjadi 'teman seperjuangan', yang mengingatkan pada film The A Team. Terutama pada bagian akhir dimana Marius terlihat seperti Captain Murdock dan Tomas adalah B. A. Baracus. Salah satu bagian terbaik adalah saat Teuku Rifku Wikana menunjukkan aktingnya yang memukau sebagai Dayan. Sampai-sampai para penonton bertepuk tangan di bioskop.

Karakter pendukung baru juga cukup mewarnai Darah Garuda. Kehadiran bintang muda, Aldy Zulfikar sebagai Budi yang merupakan prajurit termuda dalam kelompok mereka -kalau tidak bisa dibilang anak kecil-, cukup menarik dan berkesan. Dan yang paling berkesan mungkin kehadiran Ario Bayu. Walaupun sebenarnya terlihat kurang meyakinkan untuk terlihat sebagai seorang pejuang, Ario Bayu mampu membawakan karakternya dengan baik. Twist yang dilakukan terhadap karakternya juga cukup membuat karakternya terlihat lebih menarik dibandingkan dengan karakter-karakter utama -meskipun diakhiri dengan kematian yang konyol-.
Kesimpulannya, Darah Garuda dengan teriakan “merdeka!” yang lebih lantang mampu menghadirkan perjuangan yang lebih bernyawa, dengan iringan alunan musik indah dari Thorsie Argeswara. Dan secara keseluruhan, Darah Garuda merupakan sebuah tontonan yang amat sangat jauh lebih baik dari film-film lokal 'asal jadi' yang sering ada di bioskop kita. Namun perjuangannya untuk memompa semangat patriotisme masih perlu dibuktikan lagi, karena pertempuran masih belum usai dan Trilogi Merdeka masih memiliki kesempatan untut berjuang lagi pada film  Hati Merdeka yang dijadwalkan rilis bulan Desember. Merdeka! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BISMILLAHIRAHMANIRRAHIIM...Mulai Menjalankan program baruuu